Kamis, 02 September 2010

Tumpeng Sewu

Salawat menggema di sepanjang Keraton Kasunanan Surakarta hingga menuju Joglo Sriwedari, Jawa Tengah, Senin (30/8) malam lalu. Ratusan orang berpakaian putih-putih dengan ikat kepala sorban memainkan rebana sembari melantunkan pujian kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Di barisan depan, satu kereta kencana yang ditumpangi para pembesar keraton bergerak perlahan. Merekalah yang memimpin upacara malam selikuran ini. Dibelakangnya tepat, terdapat satu kompi Prajurit Tamtama berseragam hitam, disusul Prajurit Sorogeni berseragam merah, Jayengastro berseragam biru, Prawira Anom berseragam hijau yang lengkap membawa senjata.

Tak ketinggalan abdi dalem keraton yang berjalan dengan memanggul sebuah kotak yang terbuat dari bambu, yaitu Ancak Canthoko. Ancak Canthoko merupakan tempat yang berisi puluhan tumpeng. Tak hanya satu yang dipanggul, puluhan Ancak Canthoko yang diarak. Karena dalam tradisi kraton Surakarta, terdapat 1.000 tumpeng yang dipersiapkan.

Kemudian, di sela-sela iring-iringan, terdapat puluhan lampu ting (lampu jawa yang digantungkan) dibawa abdi dalem dan juga masyarakat perwakilan dari beberapa kelurahan di Surakarta. Salah satunya ada ting keraton yang berukuran paling besar, sekitar 1x80 meter.

Menurut KGPH Puger Pengageng Keraton Kasunanan Surakarta, Malem Selikuran adalah sebutan tradisi memperingati turunnya wahyu Lailatul Qadar. Mereka meyakini bahwa pada malam ke-21 Bulan Ramadan Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur disambut para sahabat dengan membawa obor di sepanjang jalan menuju kediaman nabi.

“Obor oleh Keraton Surakarta pun diejawantahkan dalam lampu ting. Tak hanya sekadar simbol, lampu ting ini memiliki makna kehidupan. Ting dengan nyala apinya adalah wujud kekuatan Allah. Sekaligus mengingatkan kita pada persitiwa di mana para sahabat nabi membawa obor ketika terjadi peristiwa turunnya Lailatul Qadar, “ katanya.

Lantas, keberadaan dari 1000 tumpeng adalah sebuah wujud syukur. Dengan berita gembira, turunnya wahyu Lailatul Qadar, adalah momen yang tepat untuk bersyukur. Nantinya tumpeng-tumpeng itu akan disantap bersama-sama dengan masyarakat sekitar.

Isi tumpeng pun beragam, mulai dari jajanan makan hingga hasil bumi. Hal ini tentu saja untuk menyimbolkan wujud syukur karena telah diberi nikmat. Bentuk dari tumpeng pun juga memiliki makna falsafah kehidupan. Tumpeng yang selalu dibawa berbentuk segitiga yang lancip ke atas.

“Bentuk lancip ke atas adalah sebagai simbol agar kita selalu ingat kepada Allah. Selalu bersyukur kepadanya, “ jelasnya.

Begitu juga dengan syair lagu yang dilantunkan, bisa dipastikan lagu yang berkaitan dengan kebesaran Sang Illahi dan sarat makna kehidupan. Dulu, tradisi ini memiliki “lagu kebangsaan”, yaitu ting-ting hik. Tetapi karena pergeseran, zaman lagu kebangsaan ini diganti dengan lagu Islami.

“Kalau Malem Selikuran pasti selalu mengingatkan kita pada lagu ting-ting hik. Liriknya adalah ting-ting hik, jadhah jenang wajik, ojo lali lho, ting e kobong, “ katanya.

"Lagu ini pun juga memiliki makna, di mana ketika kita lupa pada Allah, maka kita pasti akan mendapatkan malapetaka. Ting kobong (lampu terbakar) maka akan terjadi kebakaran. Dan kebakaran ini menjadi simbol malapetaka. “Lagu ini selalu mengingatkan kita, agar bersyukur pada Allah."

Tradisi ini, telah berlangsung sejak abad 18 pertengahan, tepatnya pada Pakubuwono (PB) IV. Mengingat Keraton Kasunanan Surakarta menjadi cikal bakal agama Islam di Jawa. Ini tidak terlepas dari keberadaan leluhurnya kerajaan Mataram Islam. Sehingga, tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun.

“Ritual ini muncul sebagai wujud dari syiar agama Islam di Jawa, khususnya keberadaan Wali Songo. Dengan mengakulturasikan budaya Jawa dan nilai-nilai Islam, Malem Selikuran menjadi sebuah tradisi tahunan, “ jelas KGPH Puger.

Setelah beriring-iringan, selama satu jam dengan menempuh jarak 4 kilometer, kirab yang dimulai dari Keraton ini pun tiba di Joglo Sriwedari. Masyarakat setia menunggu kedatangan 1000 tumpeng. Setelah berdoa bersama, dalam hitungan detik, tumpeng-tumpeng itu ludes diperebutkan oleh masyarakat dan abdi dalem.

Foto: Warga dan Abdi Dalem Keraton Surakarta mengikuti Kirab Malem Selikuran dari Keraton menuju Joglo Sriwedari, di Jalan Slamet Riyadi Solo, Jateng, Senin (30/8).

Sumber : http://id.promotion.yahoo.com/
Foto : fotosm_cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar